If you hate reading long (boring) paragraphs, you can skip this and move along to part two (but keep in mind that you just broke my little heart for not taking the time to read what I so passionately wrote :( ). Also, pardon my terribly disorganized style of writing and any improper or misspelled word / grammatical error you might encounter; I just didn't bother checking or revising my work.
Setelah
sekian lama tidak mengupdate blog ini karena berbagai macam kesibukan saat
kuliah (dan tentunya rasa malas yang tidak karuan), liburan "musim
panas" ini tampaknya akan aku coba luangkan untuk menulis serta menjawab
beberapa hal yang sering banget ditanyakan kepadaku. Dan setelah dipikir-pikir,
hal pertama yg muncul di pikiranku adalah mengenai Olimpiade Sains Nasional
atau singkatny OSN. OSN, bagi yang belum tahu, merupakan ajang olimpiade
tingkat nasional yang diadakan setiap tahun oleh Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia. OSN sendiri sudah ada sejak tahun 2000-an (ga tahu
pastinya tahun berapa karena sekali lagi malas untuk membuka wikipedia) dan
telah melahirkan juara-juara sains nasional, baik di tingkat SD, SMP dan SMA,
yang selanjutnya akan dibina dan diseleksi lebih lanjut untuk menjadi delegasi
Indonesia di ajang Olimpiade sains internasional.
Di dunia olimpiade sains Indonesia, aku dapat
terbilang cukup berpengalaman. Aku pertama kali mengikuti olimpiade sains
sejak kelas 5 SD, dimana waktu itu terdapat 2 jalur seleksi yg berbeda, jalur A
yaitu seleksi berjenjang dari tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, dan
nasional (jalur ini dikenal sebagai jalur OSN) dan jalur B, dimana langsung
dilakukan seleksi nasional di masing-masing provinsi, lalu top 50 se-Nasional
dipanggil untuk seleksi di Jakarta selama beberapa ronde yang pada akhirnya
didapatkan 10 besar untuk dikirim ke International Mathematics and Science
Olympiad (IMSO) bersama top 5 dari jalur A.
Berhubung pas SD ikutnya langsung jalur B, maka
secara teknis dapat dikatakan bahwa pengalaman aku di Olimpiade Sains tingkat
Nasional pertama kali dimulai saat duduk di bangku SMP (walaupun kalau dipikir
baik-baik, jalur B juga sebenarnya seleksi tingkat nasional cuman ga ada
jalan-jalan dan pemberian medali selama tahap nasionalnya).
Aku pertama kali mengikuti OSN SMP biologi pada
tahun 2010, gagal dan kemudian bangkit lagi di OSN 2011 di Manado. Pertama kali
mengikuti OSN SMA, aku agak sedikit nakal (oops Sorry hehe) dengan memalsukan
biodata kelas (pas OSP, aku yang seharusnya menulis kelas 9 malah menulis kelas
10 karena takut didiskualifikasi karena belum melewati syarat kelas yang
tertera di buku panduan OSN). Alhasil, ketika menang medali di OSN 2012 di
Jakarta, aku setengah mati mencoba memperbaikin sertifikat medali
yang keterangan "kelas"nya salah (Sori Pak Dedi!!).
Pengalaman terakhir OSN ku pun berakhir manis di Bandung tahun 2013 dimana aku
berhasil mengukir sejarah sebagai wakil kontingen Kalimantan Barat dengan meraih
medali emas "Best Overall" dan "Best Experiment" dan
mengalahkan salah satu anggota tim IBO Swiss 2013 Indonesia yang pada pelatnas
sebelumnya berhasil menyingkirkan aku dari 4 besar (Ampun Farhan!!!).
Anyway, 4 tahun berkecimpung di ajang Olimpiade
Sains Nasional membuatku belajar banyak hal, baik dari segi ilmu sains itu
sendiri maupun dari segi perkembangan karakter dan mental ku. Di ajang
itu juga aku dapat bertemu dengan sahabat-sahabat ku yang super hebat dari
seluruh Nusantara yang sekarang sedang menempuh jenjang pendidikan S1 di
universitas terbaik di dalam maupun luar negeri (s/o to all of my friends
reading this!). Dan di ajang inilah dimana aku belajar bahwa segala sesuatu
dapat dicapai jika kita tidak pernah berhenti berusaha dan berdoa.
Despite all the good things that I had just
said, di ajang OSN juga lah dimana mataku pertama kali terbuka terhadap
kesenjangan pendidikan di Indonesia. No one can deny bahwa juara-juara
OSN itu kebanyakan berasal dari mereka di pulau Jawa, Bali dan Sumatra
(paling banyak dari Jawa). Ini disebabkan oleh banyak faktor dimana salah
satunya dikarenakan mutu pendidikan di pulau -pulau tersebut memanglah sangat
tinggi. Sekolah-sekolah di provinsi-provinsi besar seperti DKI Jakarta dan Jawa
Tengah memang sangat mendukung delegasinya untuk bertanding di tingkat
nasional. Dengan seleksi yang super ketat dan pembinaan yang baik dan
terstruktur, maka tidak heran jika juara-juara OSN tersebut kebanyakn muncul
dari sekolah-sekolah itu saja.
With that in mind, it is
logical to say that these “city” boys (and girls, being not sexually biased) is
deserving all of these awards and applauds. Yet, I still somehow can’t shake
this feeling that they may not be that “great” after all. Not to disrespect or
undermine their achievements, no, but it seems to me that they are, in many ways,
“entitled” to win the medals. Ya, walaupun mereka memang pekerja keras dan
jenius (and I really mean that!), terkadang aku merasa bahwa mungkin, apabila
kondisi sosial dan lingkungan mereka berubah menjadi seperti halnya kita anak
daerah, mereka mungkin tidak bisa mencapai hasil yang sama baiknya dengan
mereka sebelumnya. You may disagree with me, and I might be wrong, but then
again it is a fact that some people are just at a disadvantage compared to
others.
I was lucky enough that
along my journey, I somehow has always been given the opportunity to excel. Ya,
walaupun provinsi ku tidak memberi pelatihan tambahan, setidaknya aku masih
bisa dapat akses untuk buku-buku seperti Campbell. Ya, walaupun aku tidak
pernah ikut pelatihan pra-OSN TOBI, setidaknya aku sudah tahu cara memakai
mikroskop atau mikropipet. Bayangin coba, aku yang dari ibukota provinsi saja
sudah begitu “terbelakang” dibandingkan peserta-peserta dari
kota-kota lainnnya, apalagi yang berasal dari pelosok-pelosok daerah.
One thing that touched me back in 2012 was that I had a friend, also from West Kalimantan, who was so smart
that he still managed to place top 70 nationally at provincial level despite
not having his own Campbell to read, or even a simple light microscope in his school
to tinker around. Dan begitu sampai tingkat nasional, melihat peserta lainnya
yang begitu “canggih” dan percaya diri , dengan modul-modul pelatihan pra-OSN
provinsinya masing-masing dan rumus-rumus atau hafalan dari textbooks
yang berbagai ragam, dia menjadi minder sebelum memulai lomba. It truly
saddened my heart to hear him, dengan polosnya, bilang pas bagian praktikum biologi
sel molekuler dia hanya dapat duduk terdiam, tidak menyentuh kertas ujian sama
sekali, karena tidak pernah lihat alat yang disajikan kepadanya. Did he not
work hard? Of course, he worked hard. He worked his ass off to reach the
national level, all while being the one to take care of his sick family. Did he
deserve a medal? He most certainly did. He might be actually deserving than me
in terms of effort, but then again, I was just luckier than him. All of us are
luckier than him. If I were in his shoes, hell would I ever be able to reach
the national, mau masuk kabupaten saja mungkin uda ga mau kali, mengingat
banyak beban keluarga yang harus dipikulnya sejak SMA.
It is a long rant,
indeed, but I am here to say that all of us should be grateful for whatever we
have. Selalu bersyukur untuk segala hal yang kamu punya, dan jangan
pernah menyepelekan orang lain (I’m saying this because I have been looked down
my fellow competitor just because he thought I was a “nobody” due to my
background). Ingat, di atas langit
selalu ada langit yang lebih tinggi, dan juga di bawah langit, masih ada bumi
(hmm this is a weird phrase, but whatever, you get the idea!). Maybe something
to keep in mind!
Anyhow, the goal for this
post is not to criticize or judge a certain group of people (it may sound like
it is, but just know it never my intention to), but to help my younger
generations to succeed. Aku tahu betapa susahnya itu berjuang dan berusaha di
OSN, I’ve been there 4 times, apalagi jika kamu baru pertama kali ikut. Maka
dari itu, aku akan mencoba menulis panduan, tips dan trik untuk OSN SMA bidang
biologi (since my experience will still be relevant to this day). I hope that
you find my experience and wisdom, somewhat, useful. Semoga ini juga dapat membantu
adik-adik dari daerah yang mungkin clueless
mengenai cara mempersiapkan diri untuk OSN dan juga memperkaya ilmu adik-adik
lainnya demi kemajuan pendidikan bangsa Indonesia. Note that this is all based
on my experience, it is not perfect, it does not guarantee success (AKA gold,
silver, bronze, since success cannot only be measured by medals), so don’t quote me on anything and I wish
you to be the best version of yourself whenever the competition day comes!
Comments
Post a Comment